Senin, 02 November 2009

APAKAH SHOLAT BISA BIKIN KAYA?

Diceritakan dalam al-Qur’an, nanti di hari kiamat ada orang Islam yang
dimasukkan di neraka Saqar. Ditanya sama kawan-kawannya yang masuk surga,
“Mâ salaka-kum fî Saqar”, ‘apa yang menyebabkan kamu masuk di neraka Saqar?’
. “Qâlû mâ kunnâ minal-mushâllîn”. ‘Mereka menjawab, kami tidak pernah
melakukan sholat’ [Surat al-Mudatstsir, ayat 42-43].
Tapi, ada beberapa intelektual muslim yang menganggap bahwanya sholat itu
hanya sebuah wasilah, metode dan semacamnya. Para intelektual itu mengatakan
bahwa ‘jika dulu shalat adalah tiang agama, maka kini kita telah memasuki
era modern dimana rasio menghegemoni, diganti menjadi akal adalah tiang
agama’. Mengenai fenomena ini, saya pernah ditanya seorang kawan, di Mesir,
“Mengapa sih para intelektual kok bisa berpendapat seperti itu?”.
***
Ada kesalah-pahaman yang terjadi di antara orang-orang Islam sendiri ketika
menterjemahkan Islam. Islam, dalam hal ini shalat, diartikan secara
material-total. Kita sepertinya tak akan pernah sepakat dengan hal ini.
Sebab memang, sebagaimana kita bisa dapatkan dalam al-Qur’an, al-Qur’an
bermaksud membebaskan orang-orang dari segalanya, namun yang paling utama
dalam pembebasan yang dilakukan al-Qur’an adalah “Yukhriju-hum
Minadz-dzulumât ilan-nûr”, yakni ‘menghantarkan dan membebaskan kalian
(manusia) dari zaman yang penuh kegelapan ke zaman yang terang benderang’
[Lihat, misalnya, surat al-Baqarah 257]. Jadi, risalah utama yang dibawa
Nabi Muhammad saw adalah ini. Lantas, pembebasan ini tidak serta merta kita
pahami secara material -rasional. Sebab, jika kita memahami secara
material-rasional, maka hasilnya akan menjadi lain.
Apa yang dimaksud dengan ‘kegelapan’ pada ayat di atas, tentu bukan
kegelapan dalam arti material; gelap tanpa lampu nan sunyi, remang-remang,
tidak jelas mana pohon dan mana batu. Bukan itu. Demikian pula dengan makna
‘zaman yang penuh dengan cahaya’. Kalimat tersebut tidak bisa diartikan
dengan kemajuan material yang gemerlap kelap-kelip gemerlapnya lampu-lampu
di berbagai kota sekarang ini. Gemerlapnya kota Semarang, Solo, dan lain
sebagainya, itu hanya gemerlap material. Kalau kegelapan dan kegemerlapan
yang dimaksud oleh al-Quran, atau yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw hanya
bermakna material, maka hal tersebut tidak ada bedanya dengan ‘tukang ojek’
atau sopir taksi. Tukang ojek yang ada di Indonesia, sebagaimana kita
ketahui, menghantarkan kita dari tempat yang gelap—bisa pojokan jalan, ujung
gang, terminal, dan lain sebagainya—, menuju rumah kita yang terang dengan
lampu-lampu modern.
Lalu, bagaimana gelap dan terang yang dimaksud dalam al-Qur’an?
***
Tugas yang ada, yang diemban Nabi Muhammad saw, jauh lebih besar dari itu
semua. Zaman yang terang benderang secara material tentu tidak menjamin
adanya ketenangan batin dan nurani manusia. Demikian pula halnya dengan
kegelapan material juga tidak menjamin ketenangan batin dan nurani. Bahkan
kebanyakan maksiat justru dilakukan di kegelapan dan keremangan. Gelap atau
terang secara material, atau nilai materialisme itu sendiri, sangat tidak
menjamin seseorang berlaku baik. Itu sama artinya jika kita menterjemahkan
shalat, dan Islam, secara material.
***
Umat Islam, di kebanyakan negeri berkembang, rata-rata memiliki mental
sebagai ‘orang yang baru saja merdeka’. Sehingga, sangat wajar jika umat
Islam silau dengan kemewahan material yang ada di negeri maju. Akhirnya,
harus kita akui bahwa diri kita memang sering terjebak oleh materialisme.
Ketika kita menganggap bahwa kemerdekaan materialisme adalah segala-galanya,
maka di situlah kita telah lupa diri bahwa ada ‘hal lain’ yang tidak
tersentuh dan tidak ada dalam dunia materialisme.
“Hal lain” itu tidak lain kecuali Allah!!!
Semua ini kalau kembali kepada Allah pasti selesai. Dan, untuk menuju ‘hal
lain’ itu, hanya ditempuh melalui interaksi-interaksi spiritual yang tak
terjangkau oleh akal.
***
Sebenarnya, yang menjebak kita adalah sesuatu yang kasat mata. Kita terlalu
cuek, sehingga apa yang tidak kasat mata dianggap liar. Padahal, sesuatu
yang tidak kasat mata itu belum tentu tidak ada. Ketika Rabiah
al-Adawiyah –tokoh sufi asal Basrah, kota di Irak— sedang stress berat,
pembantu kerajaan berkata kepadanya, “Berzikirlah kepada Allah”. Sontak
Rabiah bilang, “Allah?, mana Allah (tunjukkan kepadaku)?”. Pembantu itu
tentu terdiam. Rabiah saat itu belum sadar kalau dirinya keliru, dengan
mengharapkan kehadiran Allah swt hanya dengan bermodalkan panca indera.
Sesuatu yang tidak kasat mata itu bisa diraih dengan mengoptimalkan
kerjasama antara akal dengan indera yang lain. Angin, mimpi, adalah sesuatu
yang tidak bisa dilihat. Atau setrum listrik. Atau, rasa cinta kita kepada
seseorang yang terkadang membuat kita jadi seperti orang gila. Tidak tahu
mana dan bagaimana cinta itu, tidak tahu pesona apa yang ada pada dirinya,
yang jelas kita merindukan dirinya, dan selalu ingin bertemu. Ini baru
berbicara soal angin, mimpi, cinta, dan kita belum kalau dalam konteks “hal
lain” tadi.
Kalau saja kita diberi kemampuan oleh Allah untuk melihat secara kasat mata
bagaimana langit, bumi, gunung-gunung bertasbih kepada Allah swt. “Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan
tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian
tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi
Maha Pengampun”. (QS 17:44).
Apakah kita hendak mengatakan bahwa “tasbih”-nya langit, bumi dan gunung itu
sebagai sesuatu yang “majazi” alias metaforis belaka?
Kita, manusia, mengatakan demikian, tidak lain, karena kita –dengan akal
kita—tidak mampu menggapai “hal lain” itu. Kita juga tidak mampu menggapai
hal-hal yg Dia kehendaki, yang kadang-kadang berupa hidayah, petunjuk, dan
lain sebagainya. Sehingga, hanya kata “majazi” atau metaforisme sajalah yang
menutup indera nurani kita, setelah mata, telinga dan hidung kita tidak
mampu untuk menggapainya.
Mari kita perhatikan dengan ayat beriku ini :
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya,
padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah
yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. 27:88)
***
Sangat berat memang untuk meyakini sesuatu dimana diri kita sendiri masih
dalam keadaan ragu-ragu. Bahkan ketika keyakinan itu ada, kita senantiasa
berharap agar dapat mengokohkan keyakinan itu dalam petunjuk Allah swt yang
kasat mata. Bahkan hal ini pernah terpikirkan dalam benak Nabi Ibrahim as,
yang akhirnya, walaupun beliau sendiri karena sudah sangat dekat dengan “hal
lain” itu, beliau masih saja bertanya ;
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.”
“Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?”
Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap
mantap (dengan imanku)”.
Allah berfirman: (Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu
cincanglah semuanya olehmu.”
(Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian
dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang
kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (QS 2:260)
***

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com