Rabu, 28 Oktober 2009

Ibadah Perlawanan terhadap Kemiskinan


Sesungguhnya, kefakiran dekat dengan kekufuran, demikian arti suatu bunyi hadits yang pernah saya dengar. Bagaimanapun, agama tidak mengajarkan pemeluknya untuk hidup dalam kemiskinan, meskipun di lain hadits, menunjukkan bahwa kemiskinan itu tidak melulu identik dengan kehinaan, bahkan dalam beberapa hal dapat mendekatkan manusia dengan Sang Pencipta-nya, bahkan Nabi adalah manusia teladan yang super miskin. Namun kemiskinan versi keteladanan Nabi ini bukanlah suatu percontohan bahwa kemiskinan identik dengan ajaran agama dan agama menganjurkan kemiskinan, tapi lebih menunjukkan keteladanan pada ?kesederhanaan? dalam hidup, jangan berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam membelanjakan harta. Dewasa ini kita melihat bahwa saudara-saudara kita yang bernasib kurang beruntung dalam kemelaratan semakin banyak. Pertanyaannya, di mana tanggung jawab sosial kolektif kita dalam rangka berjuang bersama mengentaskan kemiskinan itu? Sungguh menyedihkan memang, di negeri yang mayoritas muslim ini, kesadaran untuk memberdayakan segala potensi untuk melawan kemiskinan tidak menjadi semangat dan praktek sosial oleh kalangan kaya yang mengaku beragama tersebut. Bahkan tampaknya semangat perlawanan terhadap kemiskinan ini gagal digerakkan secara massif oleh kaum cerdik-cendikia dan ulama di negeri ini.

Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang religius ternyata masih terdapat sekitar 17,75 atau 39,05 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan (BPS, 2006). Muslim kaya?.banyak! tapi muslim kaya yang tercerahkan dan tersadarkan untuk berbuat mengangkat derajat saudara-saudaranya, itu yang jarang. Bahkan tak sedikit muslim yang kaya itu menunjukkan pola hidup yang memiris dan memedihkan hati saudara-saudaranya yang papa.

Artinya, kekayaan yang Tuhan anugerahkan kepada mereka tidak memberikan manfaat apapun bagi sekitarnya, padahal mereka seharusnya sadar bahwa di dalam kekayaan itu bukanlah mutlak hak milik mereka dan terdapat hak orang miskin di dalamnya. Seharusnya mereka menyadari bahwa kekayaan itu adalah amanah, sekaligus menyadari bahwa manusia yang terbaik, bukanlah sekedar kaya, tapi apakah mereka bermanfaat bagi manusia lainnya.

Malah terkadang justru kaum kaya raya inilah yang melanggengkan kemiskinan, sehingga mereka baik secara sadar atau tidak sadar telah menjadi penindas baru dan penghisap darah saudara-saudaranya, hingga yang miskin semakin terpuruk dengan kemiskinan, dan mereka yang kaya terus berada di puncak kenikmatan menumpuk kekayaan tanpa ada rasa beban sosial sedikit pun.

Ternyata relijiusitas di negeri yang beragama ini tak terimplementasi pada praktek sosial kehidupan, dan semangat beragama yang tumbuh, lebih pada sekadar praktek ritual formalitas. Dan?memang, baik kaum kaya, cerdik-cendikia dan ulama di negeri ini lebih cenderung mementingkan apa yang disebut kesalehan individual semata, serta miskin dalam hal kesalehan sosial untuk meruntuhkan tembok kemiskinan. Dalam kondisi sosial-ekonomi saat ini, masyarakat negeri ini semakin terpuruk tingkat kesejahteraannya secara struktural dimiskinkan akibat kebijakan neo-liberal dan kapitalistik yang tidak pro-rakyat. Seharusnya kesalehan sosial itu dipraktekkan sehingga berimplikasi secara luas.

Namun, lagi-lagi kita melihat bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan semata-mata ritualitas, apalagi ibadah-ibadah seperti umroh dan haji yang telah turun status menjadi wisata ritual, tapi tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Bayangkan bagaimana kaum kaya-raya yang mengaku ?muslim? di negeri ini meski sudah pernah menunaikan ibadah haji. Namun ternyata kelebihan kekayaan mereka tidak dipergunakan dalam rangka membantu saudara-saudaranya. Malah mereka berkali-kali pergi haji atau umroh. Meskipun itu adalah hak mereka, namun alangkah lebih baik jika kekayaan itu bermanfaat bagi saudara-saudaranya yang kurang beruntung (baca: miskin) lainnya, yang tentunya tak susah menemuinya, bahkan ada di sekitar mereka. Tidakkah tersadar empati mereka, tatkala mereka menikmati kemewahan, sementara tetangga di kiri-kanannya kelaparan? Padahal yang harus disadari bahwa ?elan profetik? dari misi agama adalah untuk mengangkat harkat dan derajat manusia dari keterpurukan, kemiskinan dan penindasan. Tapi di negeri yang hampir semuanya mengaku beragama ini, ternyata agama gagal mempraktekkan ajaran-ajaran sosialnya.

Sesungguhnya sudah cukup banyak peringatan yang diberikan, dan bahkan agama mengancam mereka yang rakus, berlebih-lebihan dan tak peduli terhadap kaum miskin sebagai kelas kaum fasiq-pendosa, sekaligus menghina mereka sebagai saudaranya setan. Untuk itu, menjadi kewajiban kita bersama untuk menyadari bahwa menyelesaikan ketimpangan-ketimpangan sosial termasuk kemiskinan yang distrukturkan ini adalah bagian dari ibadah perlawanan memberangus ketidak-adilan dan penindasan!

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com